CINTA-NEWS – Fenomena sound horeg semakin populer di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur. Sound horeg merupakan pertunjukan audio dengan pengeras suara besar yang disusun banyak. Biasanya, perangkat ini dilengkapi lampu sorot dan diangkut menggunakan mobil bak terbuka atau truk. Warga sering menggunakan sound horeg dalam berbagai acara hiburan rakyat.
“BACA JUGA : Manfaat Kesehatan Daun Pandan yang Wajib Kamu Tahu”
HAKI Picu Pro dan Kontra di Masyarakat
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jatim, Haris Sukamto, menyatakan bahwa sound horeg layak mendapatkan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Haris menghargai unsur kreativitas dalam desain dan produk sound horeg. Ia menegaskan, perlindungan ini ditujukan untuk komunitas pelaku sound horeg, bukan individu.
Haris berencana menjalin komunikasi dengan komunitas sound horeg. Ia ingin memastikan adanya pembinaan agar kegiatan ini tidak menimbulkan gangguan sosial.
Namun, wacana ini justru memicu kritik dari masyarakat. Banyak warga menilai sound horeg lebih banyak membawa dampak negatif. Selain suaranya yang bising, perangkat besar ini sering merusak fasilitas umum saat melintas di jalan sempit. Kru sound horeg bahkan kerap membongkar gapura atau bagian rumah warga agar truk mereka bisa lewat.
Beberapa warga juga mengeluhkan dampak suara keras yang mengganggu kesehatan pendengaran dan kenyamanan lingkungan. Kritik terhadap fenomena ini ramai di media sosial. Netizen menumpahkan unek-unek mereka lewat berbagai komentar pedas.
Salah satu netizen mempertanyakan nilai positif sound horeg jika justru merusak lingkungan sekitar. Ada juga yang menyindir rencana pemberian HAKI dengan komentar satir tentang intelektualitas.
“BACA JUGA : Serial Bidaah Dorong Santriwati Berani Lapor Kasus Pelecehan”
Meski pemerintah berusaha menghargai kreativitas, masyarakat berharap ada regulasi tegas agar sound horeg tidak mengganggu ketertiban umum. Warga meminta solusi agar hiburan ini tetap berjalan tanpa merugikan orang lain.
2 tanggapan untuk “Wacana Sound Horeg Jadi Kekayaan Intelektual Picu Kontroversi”