Cinta News – Kabar Terkini, Penuh Inspirasi!

Menko PMK: Jangan Biarkan Anak Terus Scrolling HP!

JAKARTA, Cinta-news.com – Jangan Biarkan Anak Terus Scrolling HP. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno mengingatkan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) dengan bijak, terutama dalam dunia pendidikan. Ia menegaskan, teknologi harus mendukung pembelajaran, bukan malah merusak perkembangan anak. “Jangan sampai anak-anak kecanduan screen time, terus-terusan scrolling tanpa kontrol,” tegas Pratikno di kantornya, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, kebiasaan scrolling berlebihan bisa membuat anak menerima informasi secara tidak utuh. Bahkan, riset membuktikan hal ini bisa memicu masalah mental seperti depresi. “Scrolling itu cenderung memberikan informasi yang dangkal. Tidak hanya itu, kebiasaan ini juga berisiko mengganggu kesehatan mental,” jelasnya.

Pratikno juga menyoroti dampak sosial dari ketergantungan pada gadget. Ia prihatin melihat banyak keluarga yang meskipun berkumpul, justru tidak saling berkomunikasi karena sibuk dengan gadget masing-masing. “Screen time yang tinggi bikin interaksi keluarga jadi berkurang. Mereka satu meja, tapi pikiran dan perhatiannya teralihkan ke dunia digital,” ujarnya.

Lebih mengkhawatirkan lagi, paparan gadget kini sudah dimulai sejak usia dini, bahkan pada anak di bawah dua tahun. Padahal, hal ini bisa menghambat perkembangan fisik dan mental mereka. “Bayi yang seharusnya belajar mengenal dunia justru dikenalkan pada layar gadget. Ini tentu tidak baik untuk tumbuh kembangnya,” tambah Pratikno.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa teknologi digital dan AI tetap memiliki potensi besar untuk memajukan pendidikan dan meningkatkan produktivitas—asalkan digunakan secara tepat. “Teknologi ini bisa membuat pembelajaran lebih efektif dan menarik. Tapi, penggunaannya harus diatur agar tidak menimbulkan efek negatif,” tegasnya.

Dampak Scrolling Berlebihan pada Anak

Pratikno mengingatkan, kebiasaan scrolling yang tidak terkontrol bisa membuat anak kesulitan memahami informasi secara mendalam. “Mereka terbiasa dengan konten singkat dan instan, sehingga kemampuan berpikir kritisnya bisa tergerus,” ujarnya. Selain itu, algoritma media sosial seringkali membanjiri anak dengan konten yang tidak sesuai usia, yang bisa memengaruhi pola pikir dan emosi mereka.

Gadget vs Interaksi Keluarga

Fenomena phubbing (mengabaikan orang sekitar karena gadget) kini semakin marak. Pratikno mencontohkan, banyak orang tua yang sibuk dengan ponselnya saat bersama anak, padahal momen kebersamaan itu penting untuk bonding. “Anak butuh perhatian langsung, bukan sekadar fisik hadir tapi pikiran orang tua justru di tempat lain,” ungkapnya.

Gadget pada Anak Usia Dini: Bahaya yang Terabaikan

Pratikno menyayangkan banyak orang tua yang memberikan gadget sebagai “pengasuh digital” untuk anak balita. Padahal, di usia emas, anak seharusnya aktif mengeksplorasi lingkungan sekitar. “Mereka perlu belajar berinteraksi langsung, bukan melalui layar,” tegasnya. Studi menunjukkan, paparan gadget terlalu dini bisa mengganggu perkembangan bahasa, motorik, dan sosial anak.

Di sisi lain, Pratikno mengakui bahwa teknologi digital dan AI membawa banyak manfaat. Misalnya, platform edukasi interaktif bisa membuat belajar lebih menyenangkan. AI juga bisa membantu personalisasi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. “Asal dipakai dengan bijak, teknologi ini bisa jadi alat yang powerful untuk memajukan pendidikan,” ujarnya.

Pratikno mendorong orang tua dan pendidik untuk lebih aware dalam mengatur penggunaan gadget. “Buat aturan screen time, ajak anak diskusi tentang bahaya gadget berlebihan, dan pastikan mereka tetap aktif di dunia nyata,” sarannya. Pemerintah juga akan terus mengkampanyekan literasi digital agar masyarakat bisa memanfaatkan teknologi secara positif.

“Teknologi itu netral. Tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jangan sampai kemajuan digital justru merenggut masa depan anak-anak kita,” pungkas Pratikno.

Dengan kesadaran bersama, diharapkan gadget dan AI bisa menjadi teman belajar, bukan musuh yang menggerogoti kesehatan dan hubungan sosial.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *