Cinta-News.com — Penguatan Peran Presiden dalam BUMN. Secara hukum korporasi, Danantara sebagai pemegang saham mayoritas berhak menunda RUPS karena memang menjadi kewenangannya selaku pemilik. Meskipun Menteri BUMN memiliki hak istimewa melalui saham Seri A Dwiwarna untuk melindungi isu strategis—seperti pergantian direksi, restrukturisasi besar, atau perubahan kebijakan—hak tersebut tidak mencakup penundaan teknis RUPS. Dengan kata lain, Menteri tidak bisa memveto atau menunda RUPS kecuali jika agenda RUPS menyangkut hal-hal yang diatur dalam Pasal 4C.
Kebijakan penundaan massal ini berpotensi menimbulkan dampak besar. Pertama, proyek strategis dan ekspansi bisnis bisa terbengkalai. Kedua, mitra swasta dan investor mungkin menghadapi ketidakpastian yang lebih tinggi. Terakhir, perencanaan jangka panjang anak usaha dan subholding bisa terganggu. Jika kondisi ini berlarut tanpa batas waktu jelas dan transparansi, risiko turunnya kepercayaan pasar serta keretakan tata kelola internal semakin nyata.
Di sisi lain, kebijakan ini bisa dilihat sebagai upaya menyelaraskan seluruh BUMN di bawah komando strategis pemerintah baru. Namun, konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden dan Danantara—tanpa pengawasan memadai—berisiko memicu dominasi politik atau melemahkan profesionalisme korporat.
Inilah tantangan utama tata kelola BUMN saat ini. Arsitektur kelembagaan baru harus mampu menyeimbangkan antara kontrol politik yang efektif dan akuntabilitas publik.Penguatan Peran Presiden dalam BUMN
Transformasi BUMN melalui UU No. 1 Tahun 2025 memang menjadi momen bersejarah dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Namun, prinsip tata kelola mengingatkan: semakin besar kekuasaan terpusat, semakin tinggi tanggung jawab untuk menjamin transparansi, integritas, dan akuntabilitas.
