Cinta News – Kabar Terkini, Penuh Inspirasi!
News  

Seleksi Anggota Komisi Yudisial, Etik Masihkah digunakan?

Cinta-news.com — Seleksi Anggota Komisi Yudisial,.Di tengah masyarakat yang semakin skeptis terhadap hukum, Komisi Yudisial (KY) seharusnya menjadi benteng terakhir yang memastikan keadilan tetap hidup. Sayangnya, isu korupsi, putusan kontroversial, dan intervensi kekuasaan terus menghantam lembaga peradilan, sementara KY justru sering tampak tak berdaya. Padahal, mandatnya jelas: menjaga etik dan martabat hakim. Tapi, siapa sebenarnya yang mengawasi para penjaga ini?

Kini, proses seleksi anggota KY periode 2025–2030 kembali memantik kegelisahan. Persoalannya bukan cuma siapa yang akan terpilih, tapi siapa yang bermain di balik layar. Panitia Seleksi (Pansel) mungkin terlihat formal, tapi di baliknya, politik dan kepentingan kekuasaan bisa mengubah proses ini jadi ajang transaksi. Etik? Bisa jadi hanya jadi tumbal.

Mandat yang Terjepit

KY lahir dari semangat reformasi pasca-1998 sebagai jawaban atas lemahnya pengawasan etik terhadap hakim. Tapi kenyataannya, KY tak pernah benar-benar bebas. Mahkamah Agung (MA), yang seharusnya diawasi, justru kerap menolak rekomendasi KY. Banyak sanksi etik yang akhirnya menguap begitu saja. Alih-alih dihormati, KY malah dijadikan macan ompong—ada, tapi tak punya taring.

Nah, sekarang seleksi anggota KY jadi ajang pertarungan baru. Pansel resmi dibentuk lewat Keputusan Presiden No. 41/P Tahun 2025. Tapi di sinilah masalahnya: apakah calon yang dipilih nanti benar-benar independen, atau sekadar pion politik?

Nama-Nama di Balik Layar

Pansel KY 2025 diisi lima tokoh: Dr. Dhahana Putra, Prof. Yanto, Prof. Basuki Rekso Wibowo, Dr. Widodo, dan M. Maulana Bungaran. Secara personal, mereka punya rekam jejak akademik dan integritas yang baik. Tapi di dunia seleksi publik, kualitas individu saja tidak cukup.

Pertanyaannya:

  • Apakah Pansel memberi ruang bagi partisipasi publik?
  • Seleksinya transparan atau penuh skenario?

Kita sudah sering melihat drama seleksi lembaga strategis. KPK, Komnas HAM, LPSK—semua pernah jadi korban kalkulasi kekuasaan. Kandidat berintegritas sering tersingkir, sementara yang “aman” bagi penguasa malah lolos.

Etik vs. Kekuasaan

Masalah etik bukan cuma soal individu, tapi cermin watak kekuasaan. Etik akan jadi alat, bukan prinsip.

Akibatnya? Hukum kehilangan wibawa. Pengadilan cuma jadi pabrik pencetak putusan, bukan penegak keadilan.

Exit mobile version