Cinta-news.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berubah menjadi mimpi buruk! Ribuan porsi makanan justru memicu keracunan massal. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengonfirmasi fakta mencengangkan ini. Hingga 22 September 2025, tercatat 4.711 porsi MBG memicu gangguan kesehatan. Pemerintah menetapkan statusnya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Dadan menegaskan pernyataan ini dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).
Dadan kemudian membeberkan sebaran korban di tiga wilayah. Wilayah I melaporkan 1.281 kasus, Wilayah II menjadi episentrum dengan 2.606 kasus, dan Wilayah III menyusul dengan 824 kasus. Namun, di tengah laporan korban yang memilukan, Dadan tiba-tiba menyoroti pencapaian program. Dia mengungkapkan bahwa BGN telah memproduksi 1 miliar porsi makanan sejak program dimulai. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kontrol kualitas.
Lantas, apa penyebab di balik musibah ini? Ternyata, akar masalahnya kompleks. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai pihak penyelenggara diduga belum berpengalaman memasak dalam skala besar. Pergantian pemasok bahan baku juga ikut berkontribusi mengacaukan konsistensi kualitas. Namun, banyak pihak menduga jumlah korban sebenarnya lebih besar dari laporan resmi. Hasil uji laboratorium telah membuktikan adanya kontaminasi bakteri pada makanan. Meski bukti kuat sudah ada, tidak ada sanksi tegas untuk SPPG hingga saat ini. Pemerintah daerah mengaku tidak berwenang menindak karena kewenangan penuh ada di pemerintah pusat.
Lalu, bisakah korban menuntut pemerintah? Ternyata, hukum Indonesia menyediakan dua jalur ampuh. Masyarakat dapat memilih Class Action atau Citizen Lawsuit.
Class Action diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002. Mekanisme ini memungkinkan beberapa orang mewakili kelompok besar dengan kesamaan fakta dan dasar hukum. Syaratnya cukup jelas: jumlah anggota kelompok harus sangat banyak, terdapat kesamaan fakta hukum, dan perwakilan harus memiliki itikad baik.
Citizen Lawsuit menawarkan pendekatan berbeda. Mekanisme ini fokus pada kelalaian negara dalam memenuhi hak warga. Guru Besar Hukum Universitas Brawijaya, Isrok, menjelaskan bahwa warga dapat menuntut tanggung jawab negara. Gugatan serupa pernah berhasil dalam kasus Munir CS mengenai TKI di Nunukan. Perbedaannya dengan Class Action terletak pada jenis tuntutan. Citizen Lawsuit menuntut pemenuhan hak, bukan ganti rugi materiil.
Korban juga dapat mengandalkan UU Perlindungan Konsumen dan UU Pangan. UU Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 8 dan 19 melarang memperdagangkan makanan tercemar. Pelanggar dapat terkena pidana 5 tahun atau denda Rp2 miliar. Sementara UU Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 64, 71, dan 135 mewajibkan produsen menjaga keamanan pangan. Pelanggaran berisiko pidana 2 tahun atau denda Rp4 miliar.
Kesimpulannya, korban memiliki posisi hukum yang kuat. Berbagai instrumen hukum membuka jalan untuk menuntut pertanggungjawaban. Jumlah korban yang besar justru memperkuat posisi tawar mereka. Langkah kolektif akan membuat suara korban mustahil diabaikan.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
