Cinta-news.com – Asap merah muda di roma tiba-tiba muncul , Italia, saat Konklaf berlangsung di Kapel Sistina, Vatikan, Rabu (7/5/2025). Peristiwa ini menarik perhatian publik karena terjadi bersamaan dengan proses pemilihan Paus baru, menggantikan Paus Fransiskus yang meninggal pada 21 April 2025. Sebanyak 133 Kardinal tengah berkumpul dalam pertemuan tertutup untuk menentukan pemimpin baru Gereja Katolik.
Baca Juga: TikTok Jadi Media Ekspresi Trauma Gen Z
Faktanya, asap merah muda tersebut bukan berasal dari proses Konklaf, melainkan dari aksi protes yang digelar para aktivis perempuan Katolik. Mereka sengaja menyalakan suar (smoke bomb) di sebuah bukit yang menghadap langsung ke kubah Basilika Santo Petrus. Aksi ini bertujuan mendesak Gereja agar memberikan hak penahbisan bagi perempuan.
Miriam Duignan dari Institut Wijngaards di Cambridge menyatakan ketidakpuasannya terhadap ketimpangan gender dalam Gereja. “Kami ingin menyampaikan kepada para Kardinal: Anda tidak bisa terus mengabaikan 50% umat Katolik yang adalah perempuan. Anda tidak boleh membahas masa depan Gereja tanpa melibatkan separuh anggotanya,” tegasnya.
Duignan juga menegaskan bahwa Paus baru nantinya harus berani menangani isu inklusi perempuan. “Paus Fransiskus pun belum cukup progresif dalam hal ini,” tambahnya. Sebelumnya, pada 2011, Duignan pernah ditahan saat mencoba memasuki Vatikan untuk menyerahkan petisi mendukung seorang Pastor yang pro-perjuangan aktivis perempuan.
Protes di Tengah Proses Sakral Konklaf
Para aktivis sengaja memilih waktu saat Konklaf berlangsung agar pesan mereka terdengar. Para aktivis menyadari bahwa jika mereka melakukan protes saat asap hitam atau putih muncul—yang menandakan belum atau sudah terpilihnya Paus—otoritas Vatikan mungkin akan membubarkan aksi mereka. Duignan mengkritik, “Para Kardinal hanya melihat biarawati yang melayani mereka di Wisma Santa Marta sebagai satu-satunya perempuan selama Konklaf.”
Di sisi lain, Gereja Katolik global sebenarnya telah mulai melibatkan perempuan dalam beberapa peran penting, meski masih terbatas. Paus Fransiskus sendiri telah mempromosikan sejumlah perempuan ke posisi strategis, meski tetap di bawah otoritas laki-laki. “Bahkan imam termuda sekalipun lebih diutamakan daripada perempuan paling berpengalaman,” sindir Duignan.
Sejarah Perempuan dalam Gereja dan Harapan ke Depan
Para aktivis menegaskan bahwa perempuan sebenarnya memiliki peran setara dalam Gereja awal, sebelum reformasi abad pertengahan mengubah segalanya. “Para Kardinal tahu sejarah ini, tapi mereka tidak ingin umat mengetahuinya,” ujar Duignan.
Kate McElwee, Direktur Eksekutif Women’s Ordination Conference, menyebut ketidaksetaraan ini sebagai “krisis” bagi Gereja. “Dunia mungkin menunggu asap putih atau hitam, tapi kami mengirim asap merah muda sebagai simbol harapan. Suatu hari, Gereja harus menerima perempuan sebagai mitra setara,” tegasnya.
Gabrielle Fidelin, aktivis asal Prancis, bahkan menyebut pengucilan perempuan dari imamat dan Konklaf sebagai “dosa dan skandal”. Sementara itu, Duignan mengungkapkan bahwa hanya satu dari 133 Kardinal dalam Konklaf saat ini yang mendukung penahbisan perempuan. Namun, ia enggan menyebut nama karena khawatir Kardinal tersebut justru dikucilkan.
Langkah Kecil Paus Fransiskus dan Masa Depan yang Masih Abu-abu
Meski isu ini pernah dianggap tabu, Paus Fransiskus telah membuka peluang diskusi melalui Sinode yang melibatkan anggota perempuan. Pada Oktober 2024, sebuah laporan resmi bahkan mengkaji kemungkinan perempuan menjadi diakon—langkah awal sebelum menjadi imam. Namun, laporan tersebut menyimpulkan bahwa “masih terlalu dini untuk mengambil keputusan”.
“Pertanyaan tentang akses perempuan ke diakonat masih terbuka,” bunyi laporan itu. Meski demikian, para aktivis tetap optimis. Bagi mereka, asap merah muda bukan sekadar protes, melainkan simbol perjuangan yang akan terus bergulir hingga Gereja benar-benar berubah.
Penutup: Menanti Perubahan di Era Paus Baru
Konklaf 2025 ini menjadi momen penting bagi masa depan Gereja Katolik. Di satu sisi, tradisi dan dogma tetap dipegang teguh. Di sisi lain, tekanan untuk beradaptasi dengan nilai-nilai kesetaraan semakin kuat. “Kami tidak akan berhenti bersuara,” tegas McElwee.
Sementara asap merah muda perlahan menghilang di langit Roma, pesannya tetap menggema: Gereja tidak boleh melupakan separuh jemaatnya.
Satu tanggapan untuk “Asap Merah Muda di Roma Saat Konklaf: Simbol Protes Perempuan Katolik”