cinta-news.com – Pendidikan Militer Membebaskan MENGUATNYA kebijakan pembinaan anak-anak melalui Militer oleh beberapa kepala daerah di Indonesia akhir-akhir ini, menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Seperti Pemerintah Kabupaten Cianjur yang membina siswa bermasalah di barak militer bagi 30 orang siswa SMP.
Lalu, Pemerintah Purwakarta yang turut melaksanakan pendidikan karakter untuk para pelajar dengan berkolaborasi dengan Militer.
Kemudian, Pemerintah Kota Singkawang juga melakukan pembekalan bela negara bagi para pelaku balap liar di kalangan anak-anak yang berada di wilayahnya.
Pendidikan Militer Bahkan, Menteri HAM RI sempat menyampaikan akan menjadikan kebijakan pembinaan militer ini sebagai kebijakan nasional jika evaluasi positif.
Umur Pensiun ASN ditambah? Simak Info lengkapnya!
Tentu ini menjadi hal baik ketika semua pihak berkolaborasi dalam pembinaan anak-anak.
Sayangnya, berbagai media justru menampilkan narasi “anak nakal akan dikirim ke barak militer”.
Kebijakan mengirim anak ke barak militer untuk menangani kenakalan remaja justru berisiko melabeli anak secara negatif.
Pasalnya, dalam tindak pidana anak saja, ketika seorang anak terlibat tindak pidana, penyebutan bagi mereka bukanlah pelaku anak atau tersangka anak, melainkan ABH, yakni Anak Berkonflik dengan Hukum.
Pun ketika anak-anak yang terlibat tindak pidana tersebut masuk ke dalam Lapas penyebutannya bukanlah narapidana anak, tetapi anak binaan.
Trump Bersikeras Larang Harvard Terima Mahasiswa Asing
Pendidikan Militer Membebaskan Semua istilah tersebut sebenarnya menyuarakan tentang bahaya labelling terhadap anak. Meski melanggar norma, kita harus menghindari pelabelan negatif terhadap anak-anak.
Teori labeling Howard Becker menyatakan bahwa pemberian label negatif yang terus-menerus dapat membuat seseorang menyesuaikan perilaku dengan label tersebut.
Dalam konteks anak-anak, ini berarti mereka bisa mulai percaya bahwa mereka memang “nakal”, lalu bertindak sesuai dengan persepsi tersebut.
Akibatnya, potensi positif anak menjadi terhambat karena lingkungan sudah terlanjur menilai mereka secara negatif.
Pemberian label atas kenakalan seorang anak menurut Edwin M.Reaksi sosial terhadap penyimpangan awal justru memicu secondary deviation (penyimpangan sekunder), di mana pelaku mengembangkan perilaku baru untuk bertahan, melawan, atau beradaptasi dengan konsekuensi label yang melekat.
Selain itu, stigma anak nakal juga dapat merusak hubungan sosial dan emosional mereka. Perlakuan sering memarahi atau mengucilkan anak dapat menumbuhkan perasaan tidak berharga, rasa malu, bahkan kemarahan dalam diri mereka.
Penolakan sosial memicu remaja mencari pelarian di lingkungan berisiko.
Padahal, setiap anak memiliki alasan di balik perilakunya. Ada yang datang dari keluarga bermasalah, tekanan emosi, atau bahkan kesulitan dalam belajar yang tidak terdeteksi.
Oleh karena itu, penting bagi orangtua, guru, dan masyarakat untuk menggali lebih dalam sebelum memberi cap negatif.
Gen Z Wajib Melek Politik, Ini Alasannya!
Kontrol sosial
Lawrence E. Cohen dan Marcus Felson menyatakan bahwa kejahatan terjadi ketika ada tiga elemen utama, yakni pelaku potensial, target yang rentan, dan ketiadaan pengawasan.
Kurangnya pengawasan dari orangtua atau masyarakat cenderung menurun, dan remaja dapat menjadi target kejahatan atau bahkan terlibat sebagai pelaku.
Teori Kontrol Sosial Travis Hirschi menyatakan bahwa ikatan sosial (keluarga, sekolah, dan masyarakat) mengendalikan perilaku individu.
Jika ikatan tersebut lemah, maka individu lebih rentan terlibat dalam perilaku menyimpang.
Pendekatan pembinaan anak bermasalah tidak boleh parsial—harus menjangkau aspek kognitif, emosional, dan lingkungan sosial secara holistik.
Alih-alih fokus memberi label “nakal” pada anak, kita harus mengkritisi struktur pendukung (keluarga, sekolah, sistem sosial) yang gagal berfungsi optimal.
Ada keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan Pemerintah yang seharusnya menciptakan sistem untuk menanggulangi kenakalan anak bukan dengan memberi mereka stigma.
Mengelompokkan anak nakal dan tidak dalam institusi pendidikan merupakan wujud nyata membangun stigma dalam dunia anak. Dan ini sudah mengakar kuat dalam budaya kita.
Para orangtua sejak lama mengajarkan anak-anaknya untuk menghindari pergaulan buruk dengan melarang, “Jangan bermain dengan dia, dia terlihat nakal!”
Tentu dalam konteks parenting ini sah-sah saja. Namun, ketika berada dalam konteks pendidikan sekolah seharusnya tidak perlu ada pembedaan, terlebih yang membedakannya adalah penyelenggara pendidikan atau bahkan pemerintah itu sendiri.
“Kita wajib meninjau ulang secara komprehensif pendekatan pencegahan terhadap anak yang distigma sebagai ‘nakal’.”
Jangan-jangan selama ini anak-anak lebih sering mengalami pendekatan yang sifatnya hukuman.
Sudah sejauh mana orangtua dan lingkungan masyarakat (desa, RW hingga RT) menggiatkan langkah pencegahan terhadap anak-anak untuk tidak ikut tawuran.
Atau sudah semaksimal apa pihak sekolah dalam menangani persoalan narkotika, apakah sekolah memiliki data anak-anak yang menggunakan narkoba sehingga bisa mengupayakan rehabilitasi kepada mereka yang kecanduan.
Faktanya, tanpa pendekatan komprehensif, penanganan anak “nakal” selama ini hanya berfokus pada pemberian hukuman dan sanksi semata.
Belum melibatkan mereka sebagai subyek yang dapat memilih bisa pulih atau tidak dari belenggu sikap “nakal” mereka.
Pembinaan Kolaboratif
Pemerintah seharusnya menerapkan pembinaan militer untuk semua anak guna membangun disiplin, cinta tanah air, dan kesadaran bela negara—tanpa memandang label “nakal”.
Sehingga semua anak mendapatkan pendidikan yang sama untuk menjadi bagian dari pendidikan militer dengan tujuan yang mulia tersebut.
Namun, jika orientasinya adalah menanggulangi kenakalan atau tindak-tanduk anak didik yang sudah melewati batas, maka penegakan hukum menjadi solusi penyelesaiannya.
Pembinaan militer sekalipun tidak mampu sepenuhnya mencegah munculnya perilaku yang distigma sebagai “nakal” pada anak.
Sebenarnya, hal yang perlu mendapat perhatian lebih adalah bagaimana pendidikan kita mampu membebaskan anak-anak dari belenggu potensi sikap nakal yang bisa mereka lakukan.
Karena dalam tinjauan kriminologi, sikap anak yang melanggar norma bukanlah hasil buah pikirnya sendiri. Ada banyak aspek yang memengaruhi, mulai dari keluarga, sekolah hingga lingkungan tempat tinggal.
Bagaimana pola asuh orang tua di rumah, pengawasan di sekolah hingga perhatian masyarakat di lingkungan sekitar sangat berpengaruh pada sikap anak-anak.
Jangan selalu menjadikan anak sebagai posisi yang bersalah sehingga hanya mereka yang pantas dibina di barak militer. Bagaimana dengan orangtua, pendidik di sekolah atau tetangga lingkungan sekitar?
Bukankah tidak menutup kemungkinan bahwa perilakunya selama ini adalah pengaruh orang-orang di sekitarnya.
Maka, pendidikan militer haruslah membebaskan anak-anak dari potensi sikap nakal yang menghantui mereka. Bukan sebagai hukuman untuk menjerakan mereka.
Karena, penjara pun yang digadang-gadang sebagai tempat penghukuman bagi orang jahat telah mereformasi paradigmanya bukan untuk menjerakan, melainkan memulihkan.
Sehingga pendidikan militer seharusnya diberikan kepada seluruh anak-anak di sekolah dengan orientasi pembinaan mental dan karakter.
Bahkan bukan hanya berkolaborasi dengan militer, sekolah dan pemerintah pun perlu menggandeng seluruh aparat penegak hukum untuk dapat memberi pembinaan kepada seluruh siswa dalam rangka preventif terhadap sikap-sikap yang bertentangan dengan norma.
Kebijakan inklusif semacam ini mampu mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adil dan merata.