Cinta-news.com – Ombak Ganas Bikin Ratusan Nelayan “Mengungsi” ke Darat, Hasil Tangkapan NOL BESAR! Bayangkan suasana hening yang tidak biasa di sepanjang pesisir utara Bangkalan. Faktanya, sudah sepekan lamanya, riuh rendah aktivitas nelayan di Pantura Bangkalan, Jawa Timur, tiba-tiba menghilang. Apa pasalnya? Ternyata, hujan deras dan angin kencang yang menggila telah memaksa mereka untuk menghentikan segala aktivitas melaut. Kondisi ini, tanpa basa-basi, langsung menghantam mata pencaharian puluhan bahkan ratusan keluarga nelayan.
“Kondisi saat ini benar-benar menghantam kami,” ujar Bilal Kurniawan, seorang nelayan dari Arosbaya, dengan suara lirih penuh kekhawatiran pada Rabu (24/12/2025). Ia menegaskan bahwa ia bersama puluhan kawannya terpaksa mengunci perahu mereka di darat. “Cuaca ekstrem ini bukan main-main, ia benar-benar mengancam nyawa. Keselamatan harus jadi taruhan utama,” tambahnya, menggambarkan betapa alam sedang menunjukkan amukannya.
Namun, situasi ini ternyata tidak menyasar semua nelayan secara merata. Mayoritas korban dari amukan cuaca ini justru adalah para pemilik perahu kecil yang lebih rentan. Sementara itu, beberapa nelayan dengan kapal lebih besar masih mencoba mengadu nyali dengan lautan. “Kalau pun ada yang nekat keluar, itu biasanya perahu besar dan nelayan berhati baja yang siap menanggung risiko besar,” jelas Bilal, menunjukkan perbedaan kelas dalam menghadapi tantangan alam.
Lebih mencengangkan lagi, gelombang efek dari cuaca buruk ini ternyata merata di sepanjang garis pantura. Mulai dari Socah, Bandaran, Klampis, hingga Tanjung Bumi, pemandangannya sama: perahu-perahu tertambat dan nelayan menganggur. “Semua titik hampir mengalami nasib serupa. Kalau dihitung total sepanjang pantura, yang terdampak bisa mencapai ratusan! Di Arosbaya sendiri, puluhan nelayan sudah merasakan imbasnya,” papar Bilal, memperkirakan skala masalah yang sangat luas.
Bukan cuma tidak bisa melaut, ombak tinggi juga secara brutal mencuri harapan akan hasil tangkapan. Rosid, nelayan asal Klampis, membenarkan hal ini dengan cerita pilu. “Contohnya kemarin, dua perahu nekat berangkat. Hasilnya? Nihil total! Ikan-ikan seperti menghilang ditelan gelombang. Sekarang, strategi kami cuma satu: tiarap total sampai laut benar-benar kembali bersahabat,” jelasnya. Frase “tiarap” dengan gamblang menggambarkan kondisi genting yang mereka alami.
Lalu, kapan semua ini berakhir? Sayangnya, pihak berwenang justru membawa kabar tidak menggembirakan. Kepala BPBD Bangkalan, M Zainul Qomar, mengonfirmasi bahwa cuaca ekstrem ini diprediksi masih akan meneror wilayah tersebut hingga akhir Desember nanti. BMKG memberikan informasi yang menjadi dasar peringatan ini. Ia pun mengimbau masyarakat, khususnya para nelayan, untuk waspada dan tidak gegabah. Mereka harus mengutamakan keselamatan diri di atas segala-galanya. Dengan demikian, masa-masa sulit ini diprediksi masih akan berlanjut, meninggalkan kegelisahan yang dalam di hati para pelaut Bangkalan.
Sebagai komunitas yang hidupnya bergantung pada rasa laut, nelayan Bangkalan memiliki pengalaman membaca tanda alam yang sangat mumpuni. Mereka memutuskan untuk tidak melaut bukan tanpa alasan. Kearifan lokal ini lahir dari pengalaman puluhan tahun berinteraksi, dan kadang berselisih, dengan laut Jawa. Kebijaksanaan kolektif inilah yang sekarang menyelamatkan banyak nyawa.
Peringatan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan sisi kewenangan dan keterpercayaan pada laporan ini. Data dan prediksi mereka bukan sekadar perkiraan, tetapi hasil analisis ilmiah yang harus kita perhatikan serius. Ketika otoritas resmi menyuarakan hal yang sama dengan keluhan langsung dari lapangan, pesannya menjadi sangat jelas dan dapat kita percaya: kondisi ini benar-benar berbahaya.
Apa yang terjadi di Bangkalan ini juga menunjukkan keahlian nelayan dalam menilai risiko. Mereka paham betul batas kemampuan perahu kecil melawan ombak tinggi. Mereka menguasai pengetahuan tentang perubahan musim dan pola angin. Keputusan untuk “tiarap” adalah penerapan keahlian survival mereka yang paling mendasar—kadang keahlian terbaik bukan tentang berani menghadapi bahaya, tapi tentang tahu kapan harus menghindarinya.
Jadi, keheningan di pelabuhan dan pantai Bangkalan saat ini bukanlah liburan, melainkan sebuah aksi mogok yang alam paksakan. Ini adalah cerita tentang ketangguhan sekaligus kerentanan, tentang bagaimana kearifan lokal dan peringatan teknologi modern bersatu menyuarakan hal yang sama: mendengarkan alam. Sementara ombak masih mengamuk dan angin masih menderu, ratusan mata di Bangkalan akan terus menatap laut. Mereka berharap tanda-tanda perdamaian segera muncul, agar denyut nadi kehidupan di pesisir utara itu dapat kembali berdetak kencang.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com











