Cinta-news.com – Seorang warga Cilincing, Jakarta Utara, Sutri (35), mengalami kisah horor di transportasi umum yang membuatnya trauma. Bukannya mendapat pujian, ia justru harus menghadapi teror dan intimidasi yang sangat menegangkan setelah berhasil memergoki aksi pencopetan di dalam bus Transjakarta pada Senin, 6 Oktober 2025. Sungguh ironis, bukan? Alih-alih mendapat dukungan dari para penumpang, para pencopet itulah yang justru balik menyerang dengan memutarbalikkan fakta. Mereka dengan licinnya menuduh Sutri sebagai pelaku pencopetan, sehingga membuat suasana menjadi sangat tidak nyaman.
Mari kita simak kronologi lengkapnya. Semuanya berawal sekitar pukul 07.00 WIB, ketika Sutri memulai perjalanannya dengan menaiki bus Transjakarta berpintu dua dari Simpang Cempaka menuju Halte Permai Koja, rute PGC–Tanjung Priok. Pada puncak kepadatan jam berangkat kerja, mata Sutri menangkap pemandangan yang mencurigakan: seorang pria berpenampilan rapi bak pegawai kantoran sedang mengulurkan tangannya untuk mencopet seorang penumpang. Tanpa disangka, aksi heroik Sutri ini justru membuka gerbang masalah baginya. Karena merasa gagal dan terancam ketahuan, pelaku tersebut langsung berubah menjadi manipulator ulung. Dia pura-pura ketakutan dan memeluk ranselnya erat-erat, sambil dengan lihai melemparkan fitnah kepada Sutri untuk mengalihkan perhatian dan memprovokasi penumpang lain.
Kemudian, situasi pun semakin runyam. Sutri mulai menyadari satu hal penting: pelaku ini tidak bekerja sendirian. Ia dengan sigap mengidentifikasi setidaknya tiga orang lain dengan gaya berpenampilan serupa—kemeja rapi dan aura pekerja kantoran—yang ternyata saling berkoordinasi di dalam bus yang sama. Komplotan inilah yang kemudian dengan sistematis menyebarkan racun fitnah kepada seluruh penumpang. Mereka bersekongkol menuduh Sutri sebagai otak pencopetan, sebuah taktik klasik yang mereka gunakan untuk menyelamatkan diri dan menjebak korban mereka. Sepanjang perjalanan, mereka terus membisikkan fitnah bahwa Sutri-lah yang berbahaya.
Namun, ternyata teror ini tidak berhenti begitu Sutri turun dari bus. Begitu ia menginjakkan kaki di Halte Permai Koja, sebuah kejadian tak terduga kembali menimpanya. Salah satu anggota komplotan yang berpenampilan seperti seorang bapak-bapak ternyata diam-diam membuntuti langkahnya. Lebih mengerikan lagi, orang ini berani mengikutinya naik ke dalam bus Jaklingko yang menuju wilayah Cilincing, tempat Sutri tinggal. Bayangkan betapa ngerinya! Pelaku tidak hanya mengintimidasi di satu kendaraan, tetapi berani mengekor sampai ke kendaraan berikutnya, menunjukkan betapa beraninya kelompok ini.
Di dalam bus Jaklingko, ketegangan yang dirasakan Sutri pun memuncak. Pelaku yang membuntutinya itu kembali memainkan narasinya. Dengan lantang, ia sekali lagi menyebarkan fitnah ke telinga penumpang Jaklingko bahwa Sutri adalah seorang pencopet berbahaya. Akibatnya, seluruh mata penumpang Jaklingko pun menatap Sutri dengan penuh kecurigaan dan sinis. Pada momen ini, Sutri merasa sangat terpojokkan. Kekhawatiran bahwa orang-orang tidak akan mempercayainya membuat Sutri memilih untuk tidak membela diri, sebuah perasaan yang sangat menyiksa secara mental.
Dampak dari kejadian traumatis ini sangatlah dalam. Sutri akhirnya mengaku mengalami trauma yang parah. Rasa cemas yang menghantuinya memaksa ia untuk mengambil keputusan drastis: berhenti sementara menggunakan transportasi umum. Kekhawatiran akan keselamatan dirinya akhirnya mengalahkan kenyamanan dan kepraktisan bus Transjakarta dan Jaklingko baginya. Ia dengan tegas menyatakan, “Setelah kejadian itu saya cemas dan memutuskan untuk tidak menggunakan Transjakarta atau Jaklingko dulu sampai saya rasa aman.”
Kira-kira satu minggu kemudian, Sutri memberanikan diri untuk kembali mencoba menggunakan Transjakarta dan Jaklingko di rute yang sama. Namun, temuan di lapangan justru semakin memicu kekhawatirannya. Komplotan pencopet yang menerornya itu ternyata masih sangat aktif beroperasi. Menurut pengakuannya, “Mereka masih rutin beraksi di Transjakarta jurusan yang sama.” Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan, para pelaku itu segera mengenalinya setiap kali ia naik bus.
Bahkan, intensitas intimidasi yang diterimanya justru meningkat. Setiap kali mereka melihatnya, komplotan ini langsung melakukan aksi intimidasi yang terstruktur. Mulai dari menghasut penumpang lain sepanjang perjalanan, sampai dengan kembali mengikutinya naik Jaklingko. Tindakan mereka menunjukkan pola terorganisir yang sengaja mereka gunakan untuk membuat Sutri jera dan takut melawan atau melapor.
Meskipun ketakutan menyelimutinya, Sutri bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Diam-diam, Sutri memberanikan diri mengamati setiap gerak-gerik kelompok tersebut. Dari pengamatannya yang cermat, ia berhasil mengungkap sebuah fakta mencengangkan: ternyata seluruh anggota komplotan ini saling terhubung dalam satu grup WhatsApp. Penemuan ini membuktikan bahwa mereka adalah jaringan kriminal yang terorganisir dengan rapi.
Akhirnya, Sutri pun menyampaikan betapa kejadian ini telah menguras emosi dan tenaganya. Ia sangat menyadari bahwa perlawanan diam-diam ini mempertaruhkan reputasi dan bahkan keselamatan jiwanya.. Namun, di balik semua ketakutan itu, tekadnya untuk membongkar kejahatan ini lebih besar. Dengan berani ia menegaskan, “Namun saya harus tetap memberanikan diri untuk speak up agar kejadian ini tidak menimpa orang lain dan Transjakarta dan Jaklingko dapat benar-benar nyaman dan aman dari tindakan kriminal.” Semangatnya ini patut kita dukung agar transportasi umum kita menjadi lebih aman bagi semua orang.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com
