CRIMEA, Cinta-news.com – Negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina yang difasilitasi Amerika Serikat (AS) terus menerus mentok dan gagal mencapai kata sepakat. Alasan utamanya? Status Semenanjung Crimea, wilayah super strategis yang telah memicu perseteruan sengit antara kedua negara.
Pertama-tama, mari kita lihat bentuknya yang unik seperti berlian. Crimea ternyata terletak di persimpangan tiga benua: Eropa, Asia, dan Timur Tengah. Karena letaknya yang sangat strategis ini, Crimea bukan cuma bernilai spiritual dan historis, tapi juga memiliki nilai ekonomi dan militer yang luar biasa.
Secara historis, banyak kekuatan besar memperebutkan wilayah ini secara sengit. Mulai dari Yunani Kuno, Kekaisaran Mongol, hingga Kekaisaran Ottoman pernah berusaha menguasainya. Namun, puncaknya terjadi pada 2014 ketika Rusia secara paksa menganeksasi Crimea dari kedaulatan Ukraina.
Meskipun AS sudah menandatangani kesepakatan dengan Ukraina untuk mengakses mineral penting, persoalan Crimea tetap menjadi batu sandungan terbesar yang menghalangi perdamaian.
Perseteruan Sengit Moskwa vs Kyiv: Tidak Ada Kata Menyerah!
Di satu sisi, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bersikukuh dengan teguhnya bahwa negaranya tidak akan pernah mengakui klaim Rusia atas Crimea. Sebaliknya, Presiden Rusia Vladimir Putin juga bersikeras bahwa Crimea adalah bagian sah dari wilayah Rusia.
Posisi mantan Presiden AS Donald Trump pun menambah rumit keadaan. Ia pernah menyatakan bahwa Rusia sebaiknya mempertahankan Crimea sebagai bagian dari deal damai. Bahkan, ia mengeklaim sanggup menyelesaikan konflik ini dalam 24 jam saja. Namun, kenyataannya di lapangan jauh lebih kompleks dari sekadar wacana.
Bukan Cuma Tanah, Tapi Jantung Spiritual dan Militer Rusia!
Selain persoalan geopolitik, Crimea juga menyimpan makna simbolik yang sangat dalam bagi Rusia. Pasalnya, wilayah ini dipercaya sebagai tempat Vladimir Agung dari Kievan Rus memeluk agama Kristen Ortodoks.
“Tapi alasannya bukan cuma karena seseorang dibaptis di sana, atau itu adalah akar spiritual Rusia. Crimea juga merupakan aset militer yang sangat vital bagi Rusia,” jelas Orysia Lutsevych, Wakil Direktur Program Rusia dan Eurasia di Chatham House London, seperti dikutip NBC News.
Putin sendiri sampai menjuluki Crimea sebagai “kapal induk yang tidak bisa tenggelam”. Wilayah yang dulu dikenal sebagai destinasi wisata elit Uni Soviet itu kini berubah menjadi basis peluncuran jet tempur dan rudal Rusia untuk menyerang Ukraina.
Pusat Kekuatan Militer Rusia di Laut Hitam
Keberadaan Armada Laut Hitam Rusia di Sevastopol secara signifikan memperkuat dominasi Moskwa di kawasan. Kota terbesar di Crimea ini letaknya sangat dekat, kurang dari 320 kilometer dari dua negara anggota NATO, yaitu Romania dan Turkiye.
Akan tetapi, Ukraina tidak tinggal diam. Mereka dengan cerdik memanfaatkan rudal presisi dan drone berbiaya rendah untuk memukul mundur armada Rusia hingga ke pelabuhan Novorossiysk.
Ukraina juga pernah menyerang Jembatan Kerch yang menghubungkan Crimea dengan daratan Rusia. Serangan ini akhirnya memaksa Moskwa meningkatkan pengamanan dan mencari jalur logistik alternatif untuk pasokan militernya.
Bagi Ukraina, mengakui Crimea sebagai wilayah Rusia sama saja memberi keuntungan strategis cuma-cuma kepada Moskwa. Langkah itu bukan hanya memperkuat posisi militer Rusia, tetapi juga membuka pintu untuk serangan lanjutan ke wilayah Ukraina lainnya.
Identitas Tatar Crimea dan Luka Sejarah yang Masih Segar
Konflik Crimea juga menyangkut masalah identitas etnis Tatar Crimea yang telah lama menghuni wilayah tersebut. Komunitas Muslim Turkiye ini sudah menetap di kawasan itu sejak abad ke-15.
Sayangnya, sejarah mereka dipenuhi dengan penderitaan dan penindasan. Setelah Rusia menguasai Crimea pada 1783, komunitas ini mengalami deportasi besar-besaran, terutama pada masa pemerintahan Joseph Stalin tahun 1944.
Saat ini, sekitar 76 persen dari 2,2 juta penduduk Crimea merupakan penutur bahasa Rusia. Sementara itu, populasi Tatar menyusut drastis menjadi hanya 13% saja.
“Ini bukan cuma soal tanah. Jika kita tidak berjuang secara politik untuk Crimea, itu artinya kita membiarkan pembunuhan, pengubahan hukum geopolitik, pencurian tanah, dan perang menjadi hal yang sah,” ujar seorang aktivis Tatar Crimea berusia 30 tahun yang meminta namanya disamarkan untuk keselamatan keluarganya.
Bagi banyak warga Tatar, kembalinya Crimea ke Ukraina adalah harapan yang terus menyala di hati mereka, terutama karena trauma deportasi masa lalu masih sangat membekas.
Dari Khrushchev ke Putin: Kisah Pemindahan yang Kontroversial
Pada 1954, Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev memutuskan untuk menyerahkan Crimea kepada Republik Soviet Ukraina. Setelah Uni Soviet bubar pada 1991, wilayah tersebut otomatis menjadi bagian dari Ukraina yang merdeka.
Akan tetapi, pada 2014, Putin mengambil langkah kontroversial dengan menganeksasi Crimea. Ia menyebutnya sebagai bentuk koreksi atas “kesalahan sejarah”. Putin bahkan pernah menyatakan bahwa bubarnya Uni Soviet adalah bencana geopolitik terbesar abad ke-20.
“Bagi mayoritas warga Rusia, baik yang pro atau anti Putin, Crimea tetaplah milik Rusia. Saat saya tinggal di Moskwa ketika aneksasi terjadi, banyak orang merayakannya sepanjang malam,” tutur Mark Galeotti, Direktur konsultan Mayak Intelligence.
Meski begitu, sebagian besar negara di dunia mengecam keras pencaplokan itu dan menganggapnya ilegal. Hanya segelintir negara, seperti Korea Utara dan Sudan, yang menyatakan dukungan kepada Rusia.
Pada 2018, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan kembali bahwa Washington tidak akan mengakui aneksasi Crimea. Namun, pernyataan Presiden Trump justru berlawanan dengan kebijakan tersebut.
“Crimea akan tetap bersama Rusia,” ujarnya kepada majalah Time awal 2025.
Presiden Zelensky tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa tidak ada kompromi mengenai Crimea. Konstitusi Ukraina Pasal 2 menegaskan dengan jelas bahwa batas wilayah negara hanya dapat diubah melalui referendum yang disetujui parlemen—sesuatu yang mustahil dilakukan selama status darurat militer masih berlaku.
“Crimea adalah ujian bagi prinsip, ketahanan, dan martabat. Tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga bagi seluruh dunia yang beradab,” tutup aktivis Tatar Crimea tersebut.