cinta-news.com – Meski Hari Laut Sedunia baru saja berlalu dengan seruan pelestarian, dunia justru menghadapi konflik nyata: ambisi energi hijau berbenturan dengan kelestarian ekosistem laut di titik-titik seperti Raja Ampat.
Indonesia dengan 70 persen wilayah laut serta 108.000 garis pantai sudah selayaknya ikut serta meninggikan peran laut untuk kepentingan nasional.
Hanya saja, kabar terakhir dari Raja Ampat justru mengetengahkan paradoks memilukan. Raja Ampat yang sering disebut “Amazon Laut” kini terancam oleh ekspansi tambang nikel dan potensi pembangunan smelter.
Tambang nikel yang digadang-gadang untuk pendukung utama transformasi pada energi hijau, justru menjadi paradoks yang mempertaruhkan infrastruktur biru alami yang menyediakan jasa ekosistem berskala global.
Raja Ampat: Bukan sekadar keindahan
Perairan Raja Ampat merupakan salah satu wilayah di dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati.
The Nature Conservation mencatat bahwa 574 spesies karang (75% dari total spesies karang yang dikenal) hidup di Raja Ampat, sebuah jumlah yang mencengangkan.
Wilayah ini memiliki 1.427 spesies ikan karang, termasuk spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia.
Raja Ampat Geopark juga menyebutkan bahwa wilayah ini memiliki ekosistem mangrove dan lamun yang kompleks.
Merujuk pada kompleksitasnya, kawasan Raja Ampat adalah mesin biogeokimia laut yang aktif. Kawasan ini dapat menyerap emisi karbon, menstabilkan sedimen, mengatur iklim mikro, dan sekaligus habitat berbagai flora dan fauna.
Fungsi ini bukan hanya berdampak ekologis, tetapi juga berdampak pada ekonomi dan iklim global.
Berbeda dengan infrastruktur buatan yang menua, sistem alami seperti ini justru semakin bernilai dari waktu ke waktu,
Dua Menteri Izinkan Tambang Nikel PT Gag di Raja Ampat
karena perannya dalam menyimpan karbon, meredam perubahan iklim ekstrem, dan menjaga ketahanan pangan melalui perikanan berkelanjutan.
Analisis citra satelit dan data kualitas air terbaru menunjukkan peningkatan kekeruhan dan aliran sedimen di sekitar pulau-pulau target tambang seperti Gag, Kawe, dan Manuran.
Perubahan ini merupakan sinyal awal dari stres dataran terumbu akibat limpasan dari daratan. Perubahan kondisi lingkungan laut ini dapat mengarah pada dampak signifikan.
Berdasarkan catatan Rogers (1990) dan Risk & Edinger (2011), hanya dengan kenaikan 10 persen material tersuspensi, tingkat rekrutmen karang bisa turun
Polda Metro Dukung Wacana Car Free Night Jakarta
hingga 40 persen—membawa dampak jangka panjang terhadap kelangsungan ekosistem terumbu.
Deposisi sedimen yang kaya TEP (sekitar 14 mg/cm² sedimen dan 3,8 µg/cm² TEP) secara signifikan meningkatkan kematian dini karang hingga
Kolam Limbah Tambang Nikel Raja Ampat Jebol, Cemari Laut
33 persen. Sementara pada konsentrasi tiga kali lipat (sedimen naik 50 n TEP naik 3 kali), kematian meningkat menjadi >80 persen (Fabricius, dkk., 2003).
Hal Ini menunjukkan bahwa peningkatan kekeruhan dan sedimentasi secara nyata menghambat rekrutmen awal karang, mengindikasikan risiko gangguan regenerasi ekosistem.
Lebih lanjut, aktivitas tambang di pulau kecil berpotensi mencemari sedimen laut dengan logam berat seperti nikel dan kobalt.
Studi Viret et al. (2006) menunjukkan bahwa konsentrasi nikel sekitar 20 mg/kg dalam sedimen menghambat aktivitas mikroba benthik hingga 60–90 persen, yang secara biologis juga bisa mengganggu fiksasi nitrogen dasar—proses penting dalam pertumbuhan dan ketahanan biota bentik dan karang.
Paradoks “tambang untuk energi hijau”
Narasi bahwa tambang nikel penting sebagai pendukung utama energi hijau (misalnya untuk bahan dasar baterai kendaraan listrik) seringkali menutup mata dari kenyataan ekologis.
Raja Ampat bukan gudang mineral, tapi penyerap karbon dan penstabil iklim alami.Dunlap dkk. memperkenalkan istilah “green extractivism” untuk menjelaskan praktik eksploitasi seperti ini.(2024) sebagai ‘mengorbankan integritas ekologi demi keuntungan jangka pendek dengan dalih keberlanjutan’.
Indonesia kiranya memiliki cadangan nikel yang melimpah di luar kawasan ekosistem kritis. Kita sebenarnya bisa mengalihkan lokasi penambangan ke area di luar kawasan ekosistem kritis.
Oleh karenanya, perencanaan ruang laut berbasis sains perlu menjadi acuan untuk menetapkan zona larangan tambang berdasarkan nilai ekosistem dan ketahanan habitat.
Dengan memberhentikan sementara operasi tambang di Raja Ampat, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen nyata terhadap pelestarian lingkungan.
Namun, tindakan sementara tidak cukup untuk melindungi warisan laut secara jangka panjang.
Tindak lanjut yang sesungguhnya diperlukan adalah, pertama, moratorium permanen terhadap aktivitas tambang dan pembangunan smelter di pulau kecil dan kawasan geopark UNESCO.
Pemerintah menetapkan zona infrastruktur biru untuk melindungi fungsi ekosistem laut secara hukum sebagai aset publik.
Ketiga, penguatan literasi konservasi laut, agar dukungan publik terhadap keanekaragaman hayati berakar pada pemahaman ilmiah, bukan sekadar emosi.
Raja Ampat bukan hanya kebanggaan Indonesia—ia adalah denyut nadi planet ini. Pada momen memperingati Hari Laut Sedunia ini, mari kita memilih pengetahuan daripada eksploitasi, dan masa depan daripada kerusakan.
Kita tidak perlu menyelamatkan laut, tetapi harus aktif menjaga kelestariannya.
Satu tanggapan untuk “Konflik Energi Hijau vs Konservasi Laut Raja Ampat”