JAKARTA, Cinta-news.com — Dokter Piprim Soroti Biaya Uji Kompetensi Rp 12,5 Juta. Dr. Piprim Basarah Yanuarso, dokter spesialis anak yang juga Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengungkap fakta mengejutkan. Hal ini ia sampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17/2023 tentang Kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/5/2025).
Piprim membandingkan sistem lama dengan yang baru. Dulu, pada 2024, kolegium IDAI sama sekali tidak memungut biaya untuk uji kompetensi nasional. Namun, meski peserta sudah lulus uji kompetensi IDAI, Surat Tanda Registrasi (STR) mereka tak kunjung terbit. Penyebabnya?
Piprim menegaskan, “Sekarang kolegium bentukan Kemenkes justru memberlakukan biaya uji kompetensi sebesar Rp 12,5 juta.” Ia menekankan bahwa seharusnya negara melalui APBN yang menanggung biaya ini, bukan membebankannya kepada peserta, mengingat kolegium tersebut merupakan bagian dari alat kelengkapan konsil.
Prof. Djohansjah Marzoeki, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, mengajukan gugatan bernomor 111/PUU-XXII/2024 ke Mahkamah Konstitusi. Ia meminta MK menafsirkan ulang Pasal 272 Ayat (2) UU Kesehatan untuk memastikan negara memfasilitasi pembentukan kolegium tanpa campur tangan atau kepentingan politik.
Marzoeki menegaskan, kolegium seharusnya independen karena merupakan perkumpulan ahli di bidang kedokteran. Sayangnya, dengan adanya kolegium bentukan Menkes yang menarik biaya tinggi, independensi itu dipertanyakan.
Piprim tak hanya menyoroti biaya, tetapi juga dampaknya terhadap peserta didik. “Bayangkan, setelah lulus uji kompetensi pertama, mereka dipaksa mengulang dengan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya. Padahal, idealnya, negara harus memfasilitasi proses ini agar tak memberatkan calon dokter spesialis.
Ia juga mempertanyakan transparansi penggunaan dana sebesar Rp 12,5 juta tersebut. Apalagi, sebelumnya, IDAI mampu menyelenggarakan uji kompetensi secara gratis. “Kalau kolegium ini benar di bawah negara, mengapa biayanya justru dibebankan ke peserta?” tanyanya.
Kebijakan ini memicu protes di kalangan dokter, terutama yang sedang menjalani pendidikan spesialis. Banyak yang merasa dirugikan karena harus mengeluarkan biaya tambahan padahal sebelumnya sudah lulus uji kompetensi.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa intervensi pemerintah dalam pembentukan kolegium bisa mengurangi kredibilitas lembaga tersebut. Sebab, selama ini, kolegium berperan penting dalam menjaga standar kompetensi dokter di Indonesia.
Kementerian Kesehatan belum merespons tudingan Piprim hingga berita ini terbit. Namun, berbagai pihak memprediksi isu ini akan terus berkembang mengingat dampak strategisnya terhadap kebijakan kesehatan nasional.
Sidang di MK masih berlanjut, dan banyak pihak menunggu putusan akhir. Jika MK mengabulkan gugatan, bukan tidak mungkin kolegium bentukan Menkes harus dibubarkan atau setidaknya dirombak sistem pendanaannya.
Sementara itu, para dokter spesialis anak yang terdampak berharap ada solusi segera. Sebab, tanpa STR, mereka tidak bisa praktik—padahal banyak pasien yang membutuhkan layanan mereka.
Independensi vs Regulasi Negara
Kasus ini menyoroti ketegangan antara independensi profesi medis dan regulasi pemerintah. Di satu sisi, negara punya kewenangan mengatur standar kesehatan. Di sisi lain, intervensi berlebihan justru berisiko merusak sistem yang sudah berjalan.
Piprim dan IDAI berharap, MK bisa memberikan keputusan yang adil—tidak hanya untuk dokter, tetapi juga untuk masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan terbaik.