MK dan Reformasi Pendidikan

cinta-news.com – KETIKA Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), gema yang terdengar bukan koreksi norma hukum belaka.

Putusan No. 3/PUU-XXII/2024 tersebut sinyal penting: negara harus kembali meneguhkan keberpihakan terhadap kelompok paling rentan dalam sistem pendidikan.

Hal demikian beralasan karena di balik norma yang selama ini tampak netral, justru tersembunyi diskriminasi struktural yang melukai semangat konstitusi. Situasi yang acap kali terjadi, tapi kerap pula tidak disadari.

Frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sejatinya menjadi sumber ketimpangan tersembunyi. Pemerintah hanya menerapkan prinsip pembebasan biaya pendidikan pada sekolah negeri, sementara mengabaikan sekolah swasta.

Pemerintah membiarkan sekolah swasta—yang sering menjadi satu-satunya pilihan bagi anak keluarga miskin karena daya tampung sekolah negeri terbatas—tetap memungut biaya pendidikan.

Pendidikan Militer Membebaskan

Ujungnya, akses terhadap pendidikan dasar yang seharusnya gratis bagi semua warga negara menjadi tidak setara.

MK menegaskan dalam putusannya bahwa negara wajib menyediakan pendidikan dasar secara cuma-cuma sebagai hak konstitusional setiap warga negara, sesuai amanat Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) secara aktif merujuk dan mendasarkan argumen pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah memperoleh kekuatan hukum melalui ratifikasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Kovenan ICESCR secara tegas menyatakan: negara wajib menyediakan pendidikan dasar secara cuma-cuma bagi seluruh warga.

MK menyadari adanya kesenjangan antara teks dan praktik. Secara tekstual, Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas memang tidak menyebutkan pembatasan hanya pada sekolah negeri.

Sayangnya, dalam praktiknya hanya peserta didik di sekolah negeri yang menerima manfaat pembebasan biaya.

Tak ayal, MK menilai bahwa kondisi ini menimbulkan multitafsir dan menghambat pemenuhan hak konstitusional atas pendidikan dasar. Sampai di sini, ‘gelar penjaga konstitusi’ yang tersemat kembali diuji.

5 Program Bantuan Pendidikan Pemerintah yang Wajib Kamu Coba, dari SD-SMP hingga S1-S3

Dengan menggunakan teori interpretasi konstitusional, MK menerapkan interpretasi ekstensif terhadap makna “tanpa memungut biaya” sehingga berlaku pula pada peserta didik di sekolah swasta.

Ini langkah penting yang menempatkan prinsip kesetaraan (equality before the law) dan non-diskriminasi sebagai rujukan utama dalam pembacaan konstitusi.

Menariknya, MK secara sadar menggeser paradigma normatif menuju pendekatan konstitusional yang lebih responsif terhadap persoalan sosial yang aktual (Asshiddiqie, 2006).

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa pemerintah belum mengoptimalkan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN/APBD (sesuai Pasal 31 ayat (4) UUD 1945) untuk menjamin pendidikan dasar yang inklusif dan merata.

Fakta ini mengungkapkan dengan jelas: pembuat kebijakan anggaran masih merancang alokasi secara makro tanpa mengarahkannya secara tegas untuk menutup kesenjangan akibat perbedaan status sekolah.

Implikasi dari putusan ini pun tidak sederhana. Kita tidak boleh mereduksi persoalan ini sekadar sebagai perubahan norma.

Negara harus melakukan paradigm shift dalam merancang kebijakan dan mengalokasikan anggaran pendidikan.

Pemerintah harus memformulasi ulang skema pembiayaan pendidikan agar peserta didik dari kelompok rentan yang hanya mampu mengakses sekolah swasta tetap mendapatkan pendidikan dasar gratis.

3 Remaja Pelaku Tawuran Kemayoran Diamankan, 4 Celurit Disita

Pemerintah harus merancang ulang subsidi pendidikan yang selama ini hanya mengalir ke sekolah negeri, dengan mengembangkan model afirmatif yang memberikan dukungan fiskal kepada sekolah swasta penerima siswa miskin.

Hal ini akan memungkinkan sistem pendidikan nasional untuk bekerja secara lebih inklusif, adil, dan konstitusional.

Arah baru keadilan pendidikan

Dari sudut pandang teori keadilan, pendekatan MK ini mencerminkan prinsip keadilan John Rawls (1971). Masyarakat hanya boleh membenarkan ketimpangan jika hal itu memberikan keuntungan bagi kelompok yang paling tidak beruntung.

Dalam konteks pendidikan dasar, kelompok tersebut adalah anak-anak dari keluarga miskin yang tersisih dari sistem pendidikan negeri akibat keterbatasan kapasitas.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengaitkan pendekatannya dengan konsep pure procedural justice – model keadilan yang mereka wujudkan melalui penerapan tata kelola yang adil, baik dalam aspek regulasi maupun penganggaran (Gutmann & Thompson, 2004).

Arahnya, keadilan tidak semata ditakar dari hasil akhir yang seragam. Alih-alih demikian, justru proses distribusi sumber daya yang memberi ruang bagi kelompok lemah untuk berkembang.

Putusan ini pun kembali menempatkan MK sebagai penjaga konstitusi yang progresif. Alih-alih terbatas pada tafsir teks, Mahkamah Konstitusi (MK) secara aktif menerobos ‘jebakan’ tersebut dengan turut mempertimbangkan kenyataan empiris dan kesenjangan sosial yang timbul dari penerapan norma saat menguji konstitusionalitas suatu norma.

Haedar Nashir Tolak Sekolah Gratis: ‘Jangan Matikan Swasta!’

Pendekatan progresif ini menjadi urgen untuk memastikan bahwa konstitusi tidak sekadar menjadi ‘kitab’ hukum. Lebih dari itu: benar-benar hidup dalam praktik kebijakan.

Tentu, penerapan putusan ini memerlukan kerja lanjut.Pertama, pemerintah harus merancang skema pembiayaan afirmatif bagi sekolah swasta secara cermat agar tidak mengurangi otonomi lembaga pendidikan.

Kedua, pemerintah harus menerbitkan regulasi teknis berupa peraturan pelaksana untuk menghindari ambiguitas dalam implementasi.

Ketiga, pemerintah harus membangun mekanisme pengawasan publik yang partisipatif untuk memastikan alokasi dana publik tepat sasaran.

Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menyelenggarakan pendidikan.

Akan tetapi, tanggung jawab kolektif ini tidak boleh menjadi alasan negara mengalihkan beban pembiayaan kepada masyarakat. Negara tetap menjadi aktor utama dalam menjamin terselenggaranya pendidikan dasar yang berkeadilan (MK, 2024).

Putusan MK No. 3/PUU-XXII/2024 jelas menjadi pijakan penting dalam reformulasi kebijakan anggaran dan kebijakan hukum pendidikan nasional. Ihwal yang tentu sukar.

Putusan ini bisa pangkas kesenjangan pendidikan, jamin hak belajar, dan wujudkan keadilan sosial jika diimplementasikan penuh.

Kita harus memastikan ‘sokongan energi’ ini tidak terabaikan. Ini wujud keberpihakan, ini arah baru pendidikan.

2 tanggapan untuk “MK dan Reformasi Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot Online NewsintercommposaktimposaktiAatotoSlot gacorAATOTOSlot GacorAATOTOMotoslotMotoslotSlot Gacor Hari IniAatotoSlot Gacor QRISSlot gacor Hari IniRRC4DMposakticomputerdataalazharcairobnaSlot GacorstikesindahikipgunungsitolistiamuhammadiyahselongBerita DaerahIzin Daerahmposaktiaatoto judi bolamposaktimposaktiCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaCerita DuniaPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARPASTI BAYARRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTStarlight PrincessStarlight Princess">Starlight PrincesStarlight Princess">Starlight PrincesStarlight Princess">Starlight PrincesStarlight Princess">Starlight PrincesStarlight Princess">Starlight PrincesStarlight PrincesStarlight PrincesStarlight PrincesStarlight PrincesStarlight PrincesRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP MAHJONG WAYSRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTSWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZASWEET BONANZARTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP LIVERTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPPOLA RTPRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFTRTP PGSOFT