DOHA, Cinta-news.com – Bayangkan kawasan Teluk Arab yang selalu identik dengan stabilitas dan kemakmuran, dengan kota-kotanya yang super modern, ekonomi yang meroket, dan kebijakan bebas pajak yang memikat jutaan pekerja asing. Namun, kondisi stabil itu kini mendapat ujian terberatnya setelah dua serangan dahsyat terjadi pada tahun 2025.
Pertama, Iran secara mengejutkan menyerang pangkalan udara Amerika Serikat di Qatar, sebagai balasan atas serangan AS ke fasilitas nuklirnya. Tak lama berselang, Israel dengan berani melancarkan serangan udara ke ibu kota Qatar, Doha, untuk membidik para pemimpin politik Hamas. Serangan ini menjadi momen bersejarah sekaligus mengkhawatirkan karena untuk pertama kalinya, dua kekuatan regional—Iran dan Israel—secara langsung menyerang jantung kawasan Teluk. Perang Gaza yang awalnya berjarak ribuan kilometer, kini terasa sangat dekat dan mengancam.
Qatar Pimpin Respons Kolektif Regional
Menghadapi situasi ini, Qatar segera mengambil inisiatif. Dengan pilihan militer yang terbatas, negara ini justru mempersiapkan respons regional secara kolektif untuk menanggapi serangan Israel. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dengan tegas menyatakan bahwa langkah-langkah konkret sedang didiskusikan dengan para mitra Teluk. “Keputusan akhir akan diambil pada pertemuan puncak negara-negara Arab dan Islam yang digelar di Doha akhir pekan ini,” ujarnya kepada CNN, Rabu (10/9/2025).
Uni Emirat Arab (UEA), yang selama ini dikenal terbuka dengan Israel, pun memberikan reaksi super cepat. Presiden UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan langsung terbang ke Doha dengan rombongan besar dalam waktu kurang dari 24 jam pascaserangan. Qatar menjadi tujuan pertamanya dalam tur diplomatik kilatnya yang juga mencakup Bahrain dan Oman untuk mengoordinasikan respons. Tak main-main, UEA kemudian memanggil diplomat Israel dan secara resmi menyampaikan kecaman atas apa yang mereka sebut sebagai “serangan terang-terangan dan pengecut.”
Analis: Persatuan adalah Kunci, tapi Pilihan Terbatas
Sejumlah analis percaya bahwa negara-negara Teluk kini serius mempertimbangkan berbagai opsi untuk menunjukkan persatuan kawasan dan mencegah serangan lanjutan dari Israel. Namun, mereka semua sepakat bahwa pilihan yang ada sangatlah terbatas. “Kita harus mengambil sikap sekarang. Kalau tidak, ibu kota-kota Teluk lainnya bisa menjadi target berikutnya,” tegas Bader Al Saif, asisten profesor sejarah di Universitas Kuwait.
Salah satu langkah yang paling mungkin adalah menurunkan tingkat hubungan diplomatik dengan Israel. UEA disebut-sebut akan mengurangi partisipasinya dalam Perjanjian Abraham yang diteken pada era Donald Trump. Ketegangan ini sudah mulai terlihat. Lana Nusseibeh, pejabat senior UEA, mengecam rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel sebagai “garis merah” dan pengkhianatan terhadap Perjanjian Abraham.
Qatar Gunakan Jalur Hukum Internasional
Selain jalur diplomatik, Qatar juga menyiapkan respons melalui jalur hukum internasional. Hasilnya, pada Kamis (11/9/2025), mereka berhasil mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam serangan Israel. Hasan Alhasan menyatakan negara Teluk kurang aktif dalam proses hukum internasional terhadap Israel. Namun, situasi terkini bisa mengubah segalanya. “Mereka bisa secara kolektif memutuskan untuk mendukung gugatan hukum internasional terhadap Israel, baik secara politik maupun finansial,” jelas Alhasan.
Aktifkan Sistem Pertahanan Bersama? Di Balik Layar
Selama puluhan tahun, negara-negara Teluk sebenarnya telah terikat dalam perjanjian pertahanan bersama yang ditandatangani sejak era 1980-an. Abdulaziz Sager mengungkapkan negara Teluk serius mempertimbangkan mengaktifkan Pasukan Perisai Semenanjung. Alhasan menambahkan, “Klausul perjanjian ini selama ini hanya teoritis, tapi sekarang mereka bisa mewujudkannya dengan membentuk komando terpadu, mengintegrasikan sistem pertahanan udara, serta meningkatkan kapabilitas pertahanan yang lebih independen dan inovatif.”
Namun, tantangan besar menghadang. Sebagian besar negara Teluk masih sangat bergantung pada perangkat militer AS dan menjadi tuan rumah pangkalan militer Amerika. Kegagalan AS baru-baru ini dalam melindungi sekutunya di kawasan memicu desakan untuk memperkuat otonomi keamanan. “Serangan Israel bisa menjadi pemicu bagi kawasan Teluk untuk masuk dalam dialog yang lebih serius dan terstruktur dengan pemerintahan Trump terkait kemitraan keamanan mereka,” kata Sager. Sayangnya, upaya membangun konsensus sering terhambat oleh perbedaan kepentingan domestik masing-masing negara, terutama dalam menjaga hubungan dengan AS yang masih menjadi pendukung utama Israel.
Senjata Rahasia: Kekuatan Ekonomi Triliunan Dolar
Yang paling menarik, negara-negara Teluk ternyata menyimpan senjata rahasia lain: kekuatan ekonomi yang luar biasa. Pendapatan triliunan dolar AS dari ekspor minyak dan gas telah mereka investasikan secara global, termasuk di AS sendiri. Menurut Alhasan, dana kekayaan kedaulatan milik Qatar, Arab Saudi, UEA, dan Kuwait bisa mereka gunakan sebagai tekanan ekonomi terhadap Israel. Salah satu caranya adalah dengan memboikot perusahaan-perusahaan yang memiliki saham besar dalam perekonomian Israel.
Fakta ini semakin menarik karena tiga negara Teluk telah menjanjikan investasi fantastis sebesar 3 triliun dolar AS (sekitar Rp 49,2 kuadriliun) kepada ekonomi AS selama masa jabatan kedua Trump. “Investasi tersebut berasumsi bahwa kawasan Teluk aman dan stabil,” kata Al-Saif. “Tapi jika rasa aman itu hilang karena tindakan sekutu AS seperti Israel, dana sebesar itu bisa dialihkan untuk memperkuat pertahanan kawasan atau mencari imbal hasil yang lebih aman di tempat lain,” pungkasnya. Jadi, perang bukan hanya soal rudal dan diplomat, tapi juga tentang uang dan investasi.
Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com