Cinta News – Kabar Terkini, Penuh Inspirasi!
News  

Kontroversi Pernyataan Cucun yang Dinilai Remehkan Kompetensi Ahli Gizi

JAKARTA, Cinta-news.com – Ledakan amarah para profesional gizi akhirnya meledak! Sebuah pernyataan ngawur dari Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, memicu semua ini setelah dia dengan enteng meremehkan profesi ahli gizi dalam rekrutmen untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Akibatnya, publik kini menyoroti kekhawatiran serius akan anjloknya standar layanan gizi di program prioritas nasional ini.

Awal Mula Polemik yang Memanas

Sebenarnya, polemik ini berawal dari sebuah forum yang seharusnya menjadi solusi. Seorang peserta Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung dengan lugas menyoroti persoalan nyata: sulitnya Badan Gizi Nasional (BGN) mencari ahli gizi untuk SPPG. Kemudian, dia pun mengusulkan solusi yang sangat masuk akal.

“Jika memang pada akhirnya tetap ingin merekrut dari non-gizi, tolong tidak menggunakan embel-embel ahli gizi lagi,” tegas peserta itu. Alih-alih menggunakan istilah ‘ahli gizi’, dia menyarankan posisi itu cukup disebut ‘pengawas produksi dan kualitas’ atau tenaga QA/QC. Tak lupa, dia juga mendorong BGN untuk bergandengan tangan dengan organisasi profesi seperti Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI).

Namun, keadaan justru berbalik arah! Sebelum peserta itu menyelesaikan penjelasannya, Cucun secara kasar memotong dan langsung mengkritik gaya penyampaiannya. “Kamu itu (bicaranya) terlalu panjang. Yang lain kasihan,” hardik Cucun. Bahkan, dia dengan gegabah menilai peserta tersebut arogan. “Saya enggak suka anak muda arogan kayak gini. Mentang-mentang kalian sekarang dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang. Pembuat kebijakan itu saya,” ujarnya dengan nada tinggi.

Lebih parah lagi, dalam rekaman yang kemudian viral, Cucun dengan lantang menyebut istilah ahli gizi tidak diperlukan dalam program MBG. “Tidak perlu ahli gizi. Cocok enggak? Nanti saya selesaikan di DPR,” ujarnya seenaknya. Bahkan, dengan enteng dia mengusulkan untuk mengisi posisi strategis itu hanya dengan lulusan SMA yang mengikuti pelatihan singkat. “Nanti tinggal ibu Kadinkes melatih orang. Bila perlu di sini, di kabupaten itu, punya anak-anak yang fresh graduate, anak-anak SMA cerdas, dilatih sertifikasi, saya siapkan BSNP. Program MBG tidak perlu kalian yang sombong seperti ini,” cetus Cucun yang menuai badai kritik.

Cucun Berbelok Arah: Minta Maaf dan Klarifikasi Mendadak

Terjepit oleh gelombang protes, Cucun akhirnya menyampaikan permohonan maaf melalui unggahan di Instagram @Cucun_Center. Dia berkilah tidak pernah bermaksud menyinggung profesi ahli gizi.”Saya meminta maaf jika dinamika pembahasan internal kami sempat terekspos ke publik dan masyarakat menganggapnya menyinggung profesi ahli gizi,” ujar Cucun pada Senin (17/11/2025).

Menurut versinya, pernyataannya saat itu justru bertujuan untuk meluruskan usulan yang muncul dalam forum. Terutama, dia mengklaim ingin menegaskan bahwa menghilangkan diksi ‘ahli gizi’ justru berbahaya. “Sejak awal, saya hanya ingin meluruskan bahwa perubahan istilah itu justru mengkhawatirkan. Kita tidak bisa lagi memastikan kualitas dan pengawasan makanan bergizi nantinya,” kilahnya dengan berbelit-belit. Dia kemudian berbalik arah dengan menyatakan bahwa penegasan nomenklatur profesi justru sangat penting untuk mencegah masuknya tenaga tanpa kompetensi.

Setelah mengadakan pertemuan tertutup dengan perwakilan BGN dan Persagi, Cucun mencoba memperjelas duduk perkaranya. Dia menyatakan bahwa polemik ini berawal dari pembahasan soal kelangkaan tenaga ahli gizi. “Kita respons, kita akan bawa, kalau memang misalkan seperti ini, nanti justru profesinya yang akan tereliminir sama yang profesi-profesi lain,” katanya, berusaha menunjukkan bahwa dia sebenarnya membela profesi ahli gizi.

Para Ahli Gizi Membantah: “Ini Kekeliruan Fatal!”

Namun, para ahli gizi tidak tinggal diam. Mereka pun membongkar ketidakpahaman mendasar yang dipertontonkan oleh Cucun. Dokter sekaligus Ahli Gizi Masyarakat, Tan Shot Yen, dengan tegas menyebut perkataan Cucun sudah jelas ngaco. “Sudah jelas ngaco. Artinya dia tidak paham profesi ahli gizi,” seru Tan. Dia pun memperingatkan bahwa pandangan yang meremehkan ahli gizi merupakan sebuah kekeliruan fatal.

Dengan analogi yang tajam, Tan mengibaratkan hal tersebut seperti menyerahkan tugas pilot kepada petugas darat. “Ibaratnya, kita mengganti pilot dengan petugas darat yang hanya mendapat pelatihan tiga bulan, lalu tiba-tiba menyerahkan kemudi pesawat kepadanya!” sindirnya dengan nada tegas. Analogi tajam ini menyoroti risiko fatal dari kebijakan tersebut. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa sebagian pejabat seringkali gagal membedakan antara jabatan struktural dan jabatan fungsional yang membutuhkan keahlian spesifik.

Tan juga tak segan menyoroti sikap arogan yang justru ditunjukkan oleh sang pembuat kebijakan. “Yang arogan itu orang bicara tanpa paham duduk perkara,” tegasnya. Dia menekankan, program MBG menyangkut masa depan kesehatan generasi muda, sehingga negara tidak boleh menganggap remeh dengan mereduksinya sekadar menjadi tugas bagi lulusan SMA.

Bukan Sekadar Mengawasi Makanan, Ini Penjelasan Ilmiahnya!

Di sisi lain, dokter spesialis gizi, dr Raissa E. Djuanda, juga menggarisbawahi kekeliruan fatal dalam pernyataan Cucun. Raissa menilai program MBG sebagai program yang sangat baik, namun dia memperingatkan bahwa kualitasnya bisa langsung anjlok jika pihaknya menyerahkan pengelolaannya kepada tenaga non-profesional. “Namun, ketika ada pernyataan bahwa program ini tidak memerlukan ahli gizi dan cukup mengandalkan pengawasan dari petugas non-profesional, kita harus meluruskan beberapa hal penting ini,” tegas Raissa.

Raissa kemudian membeberkan kompleksitas pekerjaan seorang ahli gizi. Dia menyebut setidaknya ada tujuh kompetensi kunci, mulai dari penentuan menu, perhitungan energi dan mikronutrien, hingga pencegahan kekurangan gizi dan penanganan kondisi khusus. “Ini adalah kompetensi yang hanya dimiliki oleh tenaga gizi sesuai pendidikan dan regulasi,” tegasnya. Kompetensi-kompetensi rumit ini jelas tidak bisa dikuasai hanya melalui pelatihan singkat.

Raissa mengakui bahwa petugas non-profesional tetap memiliki peran, namun dia menegaskan bahwa peran mereka bukanlah dalam perancangan gizi. “Pelatihan singkat sama sekali tidak membekali mereka dengan kemampuan menghitung kebutuhan gizi, menyusun menu seimbang, apalagi mengevaluasi status gizi secara teknis,” tegasnya. Untuk program sebesar MBG, kita mutlak membutuhkan tenaga gizi profesional. “Sangat disayangkan jika program baik ini kita serahkan kepada non-ahli; hasilnya pasti tidak optimal dan meleset dari sasaran,” pungkas Raissa. Dia menutup dengan pesan bahwa tenaga gizi dan petugas lapangan seharusnya saling melengkapi, bukan saling menggantikan.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

Exit mobile version