Cinta News – Kabar Terkini, Penuh Inspirasi!
News  

Di Tengah Tekanan Biaya Hidup, Buruh DIY Mendesak Kenaikan UMP 2026 Jadi Rp 3,7 Juta

Cinta-news.com – Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY secara resmi mendesak pemerintah untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 dengan angka fantastis, yaitu 50%. Mereka melontarkan desakan ini setelah melakukan survei mandiri yang berhasil mengungkap fakta mengejutkan tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di DIY. Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, dengan tegas menyatakan bahwa para buruh mengusulkan angka Rp3,7 juta sebagai upah minimum baru. “Kita semua bisa melihat bahwa upah minimum di Yogyakarta ini, dari tahun ke tahun, selalu dengan konsisten berada di bawah KHL,” ujarnya dengan nada prihatin pada Selasa (14/10/2025).

Selanjutnya, Irsad menegaskan bahwa hak untuk menerima upah di atas KHL merupakan hak fundamental setiap buruh. Kemudian, ia pun memaparkan alasan di balik tuntutan tersebut. “Sejak awal Oktober, tim kami telah melakukan survei KHL yang hasilnya sangat jelas: angka KHL di DIY berkisar antara Rp3,6 juta hingga Rp4,5 juta,” jelasnya. Oleh karena itu, ia menawarkan solusi konkret, “Angkanya sekitar Rp3,6 juta sampai 4 jutaan. Jadi, kami mengusulkan agar upah minimum 2026 ditetapkan pada angka Rp3,7 juta.”

Selain itu, Irsad meyakinkan bahwa pemenuhan upah sesuai KHL akan membawa dampak positif yang sangat besar. “Dengan upah yang layak, para buruh akhirnya bisa keluar dari jerat kemiskinan dan kesenjangan,” katanya dengan penuh keyakinan. Lebih lanjut, ia menambahkan, “Hal ini secara otomatis akan mempersempit kesenjangan ekonomi dan pada akhirnya mampu menaikkan daya beli buruh secara signifikan.”

Namun di sisi lain, kondisi upah yang rendah saat ini telah menciptakan dua masalah krusial. Menurut Irsad, rendahnya upah secara sistematis mempersulit banyak buruh untuk memiliki tempat tinggal. “Problem utamanya adalah untuk bisa mendapatkan perumahan secara layak,” ungkapnya. Parahnya lagi, kondisi ini juga menyebabkan para buruh sama sekali tidak bisa menyisihkan uang untuk masa depan. “Kemudian, pertanyaan besar menghantui mereka: ‘Apakah kami bisa hidup layak setelah pensiun, sementara untuk sekadar memiliki rumah saja kami masih sangat kesulitan?'” tambahnya dengan nada miris.

Berikutnya, MPBI DIY membeberkan data survei mereka yang sangat detail per wilayah. Berdasarkan hasil survei tersebut, kebutuhan hidup layak di Kota Yogyakarta ternyata mencapai Rp4.449.570. Kemudian, Sleman mencatat angka KHL sebesar Rp4.282.812, sementara Bantul menyusul dengan angka Rp3.880.734. Sementara itu, Kulon Progo membutuhkan Rp3.832.015 dan Gunungkidul Rp3.662.951. “Data ini dengan jelas membuktikan bahwa seluruh wilayah di DIY membutuhkan penyesuaian upah yang signifikan,” tegas Irsad. Akibatnya, ia menuntut agar pemerintah pusat dan daerah tidak lagi menetapkan upah di bawah KHL.

Lebih dari itu, Irsad menekankan bahwa konsep upah layak bukan sekadar tentang angka. “Upah layak adalah jaminan nyata untuk kehidupan yang bermartabat,” tegasnya. Ia juga memperingatkan, “Pada dasarnya, upah yang adil adalah fondasi bagi keberlanjutan ekonomi daerah. Sebaliknya, jika daya beli buruh turun, ekonomi rakyat akan ikut melemah. Kami menuntut negara untuk benar-benar berpihak pada pekerja.”

Sementara itu, di lapangan, para pekerja sendiri membenarkan temuan KHL tersebut. Dalam sebuah aksi solidaritas, Fahri (25), seorang pekerja industri kreatif, mengaku bahwa gajinya yang Rp3 juta per bulan habis begitu saja untuk kebutuhan pokok. “Sebagai pekerja, saya sangat setuju dengan kenaikan UMP sebesar 50 persen. Gaji saya habis untuk kos, makan, dan operasional saja, sehingga menabung adalah hal yang mustahil,” keluhnya. Fahri yang masih lajang ini pun merasa keberatan dengan gajinya sekarang. “Saya yang belum menikah saja merasa berat, apalagi mereka yang sudah berkeluarga,” sambungnya.

Tidak hanya itu, Fahri juga mengungkapkan masalah lain di tempat kerjanya, yaitu aturan yang tidak mengakui jam kerja panjangnya sebagai lembur. “Karena jam kerjanya fleksibel dan harus standby, saya sering bekerja lebih dari 8 jam tanpa ada tambahan upah lembur,” tuturnya. Oleh karena itu, menurut perhitungannya, gaji yang layak seharusnya berada di sekitar Rp3,8 juta per bulan.

Kemudian, cerita serupa juga datang dari Tiyo (33), karyawan swasta yang hanya bergaji Rp2 juta. Ia mengaku pendapatannya itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sangat sederhana. “Setiap hari saya hanya membawa bekal nasi, telur, dan sayur. Di rumah, telur selalu disediakan karena mudah dimasak,” ceritanya. Tiyo pun membantah anggapan bahwa biaya hidup di Yogyakarta itu murah. Harga telur saja sudah mencapai Rp28–30 ribu per kilogram. Selain itu, ia masih harus menanggung biaya pendidikan anak dan berbagai tagihan rumah tangga lainnya. Keadaan itu sedikit terbantu oleh pendapatan istrinya yang juga sekitar Rp2 juta per bulan. “Dengan gaji segitu, menabung adalah kemewahan. Harapan saya, UMP bisa naik sesuai KHL,” harapnya.

Di tengah gencarnya tuntutan ini, pemerintah daerah justru terlihat menunggu. Kepala Disnakertrans DIY, Ariyanto Wibowo, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu pedoman resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan untuk menghitung UMP 2026. “Yang pasti, upah minimum akan naik. Namun, besaran persentasenya masih belum bisa dipastikan,” ujarnya. Selanjutnya, Pemda DIY juga berpendapat bahwa kesejahteraan buruh tidak boleh hanya digantungkan pada upah pokok. “Kesejahteraan tidak hanya bergantung pada gaji pokok, tetapi juga bisa dicari melalui penghasilan tambahan,” katanya.

Selain itu, pemerintah daerah mengklaim sedang mendorong kebijakan kesejahteraan tambahan di luar gaji. “Misalnya, dengan mendorong pekerja atau anggota keluarganya untuk memiliki usaha sampingan,” jelas Ariyanto. Di sisi lain, pemerintah juga berusaha menekan pengeluaran masyarakat melalui program pendidikan dan kesehatan yang lebih murah. Ariyanto menambahkan, Pemda menyediakan pelatihan peningkatan keterampilan bagi pekerja. “Pelatihan ini bertujuan untuk memperluas kemampuan di bidang yang sudah digeluti,” ujarnya.

Terakhir, Sekretariat Daerah DIY Bidang Perekonomian, Tri Saktiyana, mengaku memahami desakan buruh. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa perhitungan KHL versi buruh sangat berbeda dengan metodologi resmi pemerintah. “Kami paham logika perhitungan KHL oleh teman-teman buruh yang bisa menghasilkan kenaikan lebih dari 50 persen. Angka itu muncul karena didasarkan pada kebutuhan versi mereka,” ujar Tri. Menurutnya, perhitungan resmi selalu dilakukan bersama BPS dengan metode baku yang mempertimbangkan variasi harga. Selain itu, penetapan UMP harus mengikuti formula pusat yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Oleh karena itu, pemerintah daerah merasa perlu berhati-hati. “Kami harus menjaga keseimbangan antara kepentingan buruh dan pelaku usaha. Jangan sampai iklim usaha di DIY menjadi tidak kompetitif karena beban upah yang terlalu tinggi. Pemerintah berdiri di tengah sebagai penyeimbang,” pungkas Tri. Meski demikian, ia menegaskan bahwa hasil survei KHL dari serikat buruh tetap akan menjadi bahan pertimbangan, walaupun tidak bisa dijadikan dasar tunggal karena perlu dikaji lebih lanjut dengan data resmi.

Dapatkan juga berita teknologi terbaru hanya di newtechclub.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *